Senin, 12 April 2010

artikel hukum

MARKUS DAN MAFIA PERADILAN
( Sebuah Virus Mental Budaya Penegakan Hukum )
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.
Makelar Kasus (markus) di sini lebih dimaksudkan, siapa saja yang mencoba dan berupaya mempengaruhi Penegak Hukum yang sedang menangani suatu kasus, sehingga proses hukum menguntungkan orang-orang tertentu dengan memberi suap berupa imbalan tertentu, sehingga perbuatannya sangat merugikan mereka pencari keadilan yang seharusnya menerima keadilan itu, atau mengorbankan orang yang tidak bersalah sebagai tumbal hukum. Oleh karenanya markus ini menjadi lapangan pekerjaan yang sangat menjanjikan rejekinya.

Markus pada prinsipnya biasa dilakukan oleh orang yang bukan penegak hukum, yang mendaku mempunyai hubungan baik dan memiliki akses dengan Pejabat yang sedang menangani kasus tertentu dengan janji-jani, sbb : 1) Dapat mengeluarkan tersangka dari tahanan ; 2) Dapat meredam perkaranya tidak sampai ke Pengadilan ; 3) Dapat mengkondisi dari pasal yang dijerat yang seharusnya berat dibuat ke pasal ringan yang disangkakan kepada tersangka ; 4) Mensplit perkara kemudian dibebaskan dari pintu belakang ; 5) Meringankan tuntutan (requisitoir) ; 6) Meringankan putusan ; 7) Kalau terlanjur ditahan dan harus ke Pengadilan, maka mengkondisi BAP dan saksi agar tidak terbukti, dan dapat dituntut bebas ; 8) Mengupayakankan fasilitas khusus di RUTAN ; Dll.

Pada umumnya “markus” juga bisa dilakukan oleh Penegak Hukum itu sendiri, baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara menggunakan orang lain sebagai perantara yang diciptakannya sendiri. Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik, dimana system dan budaya penegakan hukum yang dijalankan oleh para Penegak Hukum, memberikan peluang untuk diselewengkan, dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan, tergantung siapa yang memesannya. Hukum dan keadilan dapat dibeli oleh mereka orang-orang berduit, sehingga ia menjadi barang mahal di negeri ini.

Adapun antara Makelar kasus (markus) dengan Mafia Peradilan adalah dua hal yang saling bersinergi atau saling membutuhkan, bahkan dalam praktiknya kadang tidak bisa dipisahkan. Mafia Peradilan spektrumnya jauh lebih luas dari Makelar Kasus. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain, dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”. Salah satu indikator yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” yang terjadi hampir disemua birokrasi dan stratifikasi sosial, sehingga telah menjadikan upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, baik markus maupun mafia peradilan hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dari pidato-pidato kosong belaka. Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang terpaksa harus membelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya. Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. “ Sekali lagi tidak akan pernah… ! ”

Sindiran yang sifatnya sarkatisme mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”. Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab mereka kepada publik. Lebih baik tebal muka dan tidak punya rasa malu, dari pada menggubris sindiran publik yang bakal mengurangi rejeki mereka.

Buruknya kinerja para Penegak Hukum dan buruknya system pengawasan yang ada dalam proses penegakan hukum, telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia peradilan termasuk makelar kasus (markus) di Indonesia. Kenyataan ini bila kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa. Sehingga apa yang disebut dengan “markus” dan “mafia peradilan” eksistensinya cenderung abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini.

Oleh karenanya berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan menjadikan moral force yang berlandaskan pada Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai basic guna terbangunnya budaya sikap dan prilaku para Penegak hukum di Indonesia. Tanpa itu, semuanya menjadi utopia belaka ! ( Desember 2009 )

artikel sosial

Strategi Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat

Penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi besar yang bersifat holistik dengan program yang saling mendukung satu dengan lainnya sehingga upaya pemahaman terhadap penyebab kemiskinan perlu dilakukan dengan baik. Adapun yang menjadi elemen utama dalam strategi besar tersebut adalah pendekatan people driven dimana rakyat akan menjadi aktor penting dalam setiap formulasi kebijakan dan pengambilan keputusan politis. Untuk mensukseskan hal itu diperlukan pelaksanaan perubahan paradigma yang meredefinisi peran pemerintah yang akan lebih memberi otonomi pada rakyat, adanya transformasi kelembagaan dari yang bersifat represif menjadi representatif, dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan (Dillon, 2001).

Meskipun partisipasi masyarakat merupakan komponen penting dalam pengentasan kemiskinan. Namun, partisipasi masyarakat saja ternyata tidak cukup karena pengentasan kemiskinan bukan hanya tanggung jawab masyarakat, tapi juga tanggung jawab semua pihak, baik itu pemerintah, swasta, maupun pihak-pihak yang peduli terhadap pengentasan kemiskinan. Untuk itu, pengentasan kemiskinan butuh dukungan semua pihak. Selain itu, perlu adanya kesepakatan tentang tingkatan partisipasi masyarakat dalam program-program pengentasan kemiskinan. Hal ini untuk menghindari kembalinya masyarakat sebagai objek pembangunan. Sekaligus juga untuk memperkuat peran masyarakat dalam suatu program. Begitu pula dengan kelembagaan dalam bentuk wadah-wadah informal, seperti forum warga sangat dibutuhkan dalam melaksanakan pendekatan partisipatif. Upaya itu untuk memfasilitasi masyarakat miskin agar menyuarakan aspirasinya tanpa ada rasa takut. Kemudian, pentingnya sosialisasi dalam artian bukan hanya menyampaikan informasi, tapi memberikan pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat sampai akhirnya mengerti dan mau terlibat. Bukan karena keterpaksaan tapi karena kemauan sendiri.

Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat tersebut diperlukan tenaga pendamping lapangan. Tenaga pendamping lapangan ini biasanya dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai motivator dan fasilitator dalam pelaksanaan suatu program. Suparlan dalam Latief (1999) melihat banyak keuntungan dalam kerjasama antara LSM dengan pemerintah, yaitu antara lain (1) Pemerintah dapat menghemat pembiayaan untuk menangani masalah-masalah lokal yang bersifat mikro, (2) program-program pembangunan pemerintah yang selalu bersifat top-down, sehingga LSM dapat berfungsi sebagai perantara (mediator) untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi dari ‘bawah’ dengan permasalahan mikro yang ada di tengah masyarakat. Dengan demikian selain masyarakat diuntungkan dengan penyampaian aspirasi dari bawah tersebut, juga berbagai dampak negatif dapat diidentifikasi oleh LSM dan ditanggulangi secara swadaya oleh masyarakat melalui kegiatan-kegiatan LSM.

Lalu bagaimana strategi penanggulangan tersebut diterapkan? Menurut Effendi (2004) strategi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajemen (management) untuk mencapai tujuan. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah saja, melainkan harus mampu menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya. Demikian pula dengan strategi komunikasi yang merupakan paduan perencanaan komunikasi (communication planning) dengan manajemen komunikasi (communication management) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Strategi komunikasi ini harus mampu menunjukkan bagaimana operasionalnya secara praktis harus dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktu-waktu bergantung pada situasi dan kondisi.

Berdasarkan pendapat Effendi dan mengacu pada pemikiran Sarwono dalam Latief (1999), setidaknya penulis merumuskan tiga tahap yang perlu dilakukan oleh LSM dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di Propinsi Riau.

1. Tahap Pengenalan Masyarakat
Pada tahap ini, LSM harus datang ke tengah-tengah masyarakat miskin yang ada di Propinsi Riau. Pengenalan ini dilakukan dengan hati terbuka dan kemauan untuk mengenal masyarakat sebagaimana adanya, tanpa disertai prasangka dan sikap-sikap yang apriori lainnya. Hal ini dapat dilakukan baik melalui jalur formal (pemerintah) maupun informal seperti wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat, seperti tokoh agama, tokoh adat, dan pemuka masyarakat.

2. Tahap Pengenalan Masalah
Pada tahap ini staf LSM dituntut untuk mempunyai suatu kemampuan yang memadai agar dapat mengenal masalah-masalah penyebab kemiskinan di tengah masyarakat serta mencari tahu kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan. Hal ini dapat dilakukan dengan terlibat langsung dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga dapat menggali masalah-masalah yang memang ada di dalam masyarakat. Hal ini tentunya membutuhkan kesabaran yang tinggi dan waktu yang cukup lama, karena pada dasarnya sifat program penanggulangan kemiskinan merupakan program jangka panjang. Selanjutnya LSM bersama-sama dengan masyarakat yang didampinginya dapat menyusun skala prioritas (berdasarkan beratnya, cara mengatasinya, pentingnya dan jumlah masyarakat yang merasakan masalah tersebut) untuk menanggulanginya.

3. Tahap Penyadaran Masyarakat
Tujuan tahap ini adalah menyadarkan masyarakat akan keadaan dan kebutuhan-kebutuhan mereka, perlunya mereka ikut serta dalam memenuhi kebutuhan tersebut serta kesadaran akan potensi mereka untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan persiapan sosial yang baik diharapkan masyarakat mau berpartisipasi dalam setiap kegiatan secara aktif. Partisipasi ini dapat terjadi bila ada rasa saling mempercayai antara staf LSM dengan masyarakat, ada ajakan atau kesempatan untuk ikut serta sejak awal perencanaan kegiatan, ada manfaat yang dirasakan dan ada contoh dari pimpinan atau tokoh masyarakat.

Tentunya agar komunikasi tersebut berjalan efektif perlu diperhatikan adanya pemimpin pendapat (opinion leader). Karena keberadaan opinion leader ini penting sekali terutama dalam pengambilan keputusan dari sekian banyak ide yang melibatkan banyak individu. Berkaitan dengan itu Arifin (1994) membagi opinion leader menjadi dua: (1) Formal leader (pemimpin resmi), yaitu orang yang mempunyai fungsi dalam masyarakat karena diangkat secara resmi seperti para pejabat pamongpraja, kepala desa, camat, bupati, guru, dosen, dan sebagainya. (2) Informal leader (pemimpin tidak resmi), yaitu orang-orang yang terkemuka dalam masyarakat dan tidak diangkat secara resmi, tetapi cukup berpengaruh terhadap masyarakat di sekitarnya.

Penutup

Dari analisis permasalahan dan pembahasan di atas penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Propinsi Riau terkenal dengan minyak bumi dan perkebunan kelapa sawitnya. Namun ternyata sumberdaya alam yang tersedia tersebut belum bisa menjamin kesejahteraan masyarakatnya, sehingga masih terdapat banyak masyarakat miskin.

2. Penangulangan kemiskinan yang dilakukan Pemerintah Propinsi Riau adalah melalui program K2I (Kemiskinan, Kebodohan dan Inftrastruktur), yaitu peningkatan sumberdaya manusia melalui pendidikan, pengurangan masyarakat miskin dan perbaikan infrastruktur.

3. Yang menjadi permasalahan dalam penanggulangan kemiskinan di Propinsi Riau, berbagai program tersebut belum merata sampai ke seluruh lapisan masyarakat. Hal itu disebabkan karena kurangnya koordinasi, sosialisasi dan distribusi.

4. Penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi besar yang bersifat holistik dengan program yang saling mendukung satu dengan lainnya sehingga upaya pemahaman terhadap penyebab kemiskinan perlu dilakukan dengan baik. Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat tersebut diperlukan tenaga pendamping lapangan. Tenaga pendamping lapangan ini biasanya dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai motivator dan fasilitator dalam pelaksanaan suatu program.

Melihat kesimpulan tersebut penulis menyarankan agar Pemerintah Propinsi Riau memperbaiki kinerjanya dalam penanggulangan kemiskinan, dengan melibatkan partisipasi donor, lembaga pendamping, dan masyarakat sasaran. Sehingga untuk ke depan program-program tersebut manfaatnya secara nyata dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat di semua kabupaten/kota.

Jumat, 09 April 2010

Berita

Technology : Berita IT